Idealisme Mahasiswa Kontra Anarki
Menyoroti realitas kini, demonstrasi menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh elemen
manapun, termasuk mahasiswa yang menjadi guardian
of value. Perlu ditilik kembali dalam Undang-Undang Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Pasal 1 ayat 3 yaitu berbunyi,” Unjuk rasa
atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif
di muka umum.” Demonstrasi menjadi salah satu bentuk pelaksanaan dari cara
penyampaian yang dilegalkan oleh konstitusi.
Demonstrasi atau aksi berdampak pada dua sisi, yakni sisi ketersampaian pesan
kepada pihak yang diinginkan serta penyadaran masyarakat atas sebuah isu. Dua
indikator tersebut tidak akan tercapai apabila demonstrasi berlangsung anarkis,
seperti yang dilakukan oleh oknum mahasiswa beberapa waktu lalu. Hal tersebut
menjadi kontra produktif jika pihak yang dituju menyalahkan mahasiswa serta
pandangan masyarakat yang buruk terhadap mahasiswa. Akibatnya lebih luas lagi
terkait dengan citra buruk yang tersandang pada diri mahasiswa secara umum
bermula dari ulah oknum-oknum mahasiswa.
Idealisme Kontra Anarkis
Sangat
disayangkan jika perilaku oknum yang hanya segelintir digeneralisasi untuk
mahasiswa secara umum. Perilaku oknum ini bisa jadi dimanfaatkan oleh pihak
yang tidak bertanggungjawab untuk meruntuhkan citra perjuangan mahasiswa. Hal
ini disebabkan muncul provokator ataupun pihak-pihak yang menyulut aksi
destruktif. Ditambah lagi sebagian media massa sangat agresif dalam
memberitakan aksi-aksi yang brutal dan anarkis, padahal masih banyak aksi
demonstrasi mahasiswa yang berlangsung damai. Tak heran, sinisme masyarakat
terhadap demonstran linier dengan pemberitaan media massa tentang anarkisme
demonstrasi. Akibatnya ada pembentukan opini bahwa aksi demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa itu negatif dan selalu berujung anarkis.
Gelombang pergerakan mahasiswa harus mampu membuktikan bahwa aksi yang efektif
tidak berpola anarkis. Penulis mengambil contoh aksi yang dilakukan perwakilan
BEM SI di Yogyakarta, yang menggelar demonstrasi anti tolak kenaikan BBM dengan
damai akhir Maret lalu. Massa aksi menuntun motor sebagai bentuk penyampaian
aspirasi dan perwakilan suara orang miskin. Tak ketinggalan teatrikal juga
digelar sebagai media aspirasi di depan kantor DPRD. Tidak ada anarkisme
ataupun kriminalitas yang dilakukan, semua berjalan damai hingga akhir.
Tuntutan pun akhirnya dapat tersampaikan pada anggota DPR.
Tugas mahasiswa untuk berpegang teguh pada idealismenya sebagai kaum
intelektual menjadi pijakan. Perihal yang perlu dipegang adalah idealisme bahwa
mahasiswa menjadi kelas perantara yang mempertemukan antara rakyat dengan
penguasa. Mahasiswa sebagai intelektual menjadi kelas menengah yang memiliki
akses untuk menjangkau kedua elemen tersebut. Nah, mahasiswa sebagai bagian
dari rakyat, memiliki pengalaman lapangan yang riil akan kondisi penderitaan
rakyat. Di satu sisi, mereka tentu memiliki akses untuk mempengaruhi
pengambilan kebijakan. Inilah mengapa mahasiswa disebut agen perubahan yang
diperhitungkan suara dan aspirasinya, salah satunya lewat demonstrasi.
Demonstrasi untuk Kepentingan Umat
Menilik beberapa uraian di atas, mahasiswa harus senantiasa mempertahankan
gelar kaum intelektual. Kiranya penting untuk mencermati pandangan Ali Syariati
mengenai konsepsi intelektual, Syariati menyebut para intelek dengan istilah raushanfikr, yaitu orang-orang yang
resah akan penderitaan umat serta melakukan kerja-kerja dan kontribusi riil
untuk perbaikan ummat. Inilah yang dilakukan mahasiswa, melihat penderitaan
rakyat dan melakukan kerja-kerja riil untuk perbaikan umat, yang diterjemahkan
dalam aksi demonstrasi.
Mahasiswa mampu melihat realitas yang timpang dalam kehidupan kenegaraaan
Indonesia. Lantas mahasiswa mampu mengambil sikap berupa menuntut pemerintah
dan membuka mata masyarakat tentang masalah yang sedang dihapadi bangsa.
Bukankah mahasiswa semacam ini lebih bernilai ketimbang mahasiswa yang memiliki
IPK 4,00 tapi tidak mampu membaca penderitaan rakyat?
Mahasiswa memiliki idealisme untuk berpihak pada kebenaran dan kepentingan
rakyat kecil. Bisa diambil contoh yaitu kenaikan BBM yang dinilai merugikan
kepentingan rakyat kecil, mahasiswa turun dalam demonstrasi untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Inilah yang dijelaskan Syariati bahwa
seorang intelektual seharusnya memiliki keberpihakan yang jelas yaitu
keberpihakan kepada kebenaran, kepada kepentingan rakyat kecil. intelektualitas
mahasiswa perlu dirawat selalu agar rakyat memiliki perwakilan untuk
menyuarakan kepentingan mereka.
Satu hal yang perlu diyakini, mahasiswa yang benar-benar seorang raushanfikr pasti tidak akan berniat
melakukan anarkisme. Inilah konsekuensi logis dari intelektualitas mahasiswa
yang berusaha menemukan pertemuan kepentingan penguasa dan rakyat kecil. Buat
apa anarkis jika menjatuhkan prestis intelektual mahasiswa sendiri. Bisa
dikata, demonstrasi masih relevan dilakukan oleh mahasiswa yang masih memiliki
intelektualitas dan idealisme.
Yogyakarta, 6 April 2012
Isti Hardiyanti
Jurnalis Buletin Kedaulatan Mahasiswa
BEM KM UNY
BUTUH PEMBENAHAN, TIDAK HANYA PEMBANGUNAN
Oleh: Dyah Sukrisetyani
Di sela-sela kegiatan perkuliahan, seorang mahasiswa pergi ke kamar kecil.
Beberapa menit kemudian dia kembali dengan ekspresi kecewa. Usut punya usut,
ternyata pada saat ke kamar mandi ia menemukan fakta bahwa air di kamar mandi
telah habis. Di samping itu, beberapa kamar mandi tidak ada gayungnya. Sungguh
mengherankan mengapa hal itu dapat terjadi, apalagi di sebuah gedung baru di
kampus yang akan menjadi WCU (World Class
University) ini.
Kegiatan perkuliahan merupakan aktivitas utama yang terjadi di sebuah kampus.
Agar perkuliahan itu berjalan dengan baik tentunya dipengaruhi beberapa faktor
antara lain: materi yang disampaikan, keikutsertaan mahasiswa dalam
perkuliahan, ketepatan waktu, dan fasilitas. Walaupun tidak sebagai faktor
utama, fasilitas turut memberikan andil dalam kegiatan belajar. Bagaimana
tidak? Jika kita kuliah di sebuah gedung tua tanpa AC maupun kipas, bahkan LCD
tidak ada, akankah itu lebih baik daripada sebuah kelas ber-AC dengan LCD di
setiap kelas? Tentu saja jawabnya iya.
Universitas
Negeri Yogyakarta, saat ini sedang melakukan banyak pembenahan fasilitas, lebih
tepatnya pembangunan. Beberapa gedung baru berdiri kokoh. Di Gang Guru dapat
dilihat sebuah gedung dengan warna Tim Sepakbola Belanda yang mencolok masih
dalam tahap pembangunan tahap akhir. Sebelumnya, gedung di seberangnya yang
menjadi pusat perhatian, yaitu Gedung Fakultas Ekonomi. Berbelok ke kiri dari
gang guru, akan terlihat jendela-jendela di sebuah gedung berlantai tiga. Tidak
mau kalah bersaing, hotel UNY juga melakukan pembenahan diri sehingga tampak
lebih eksklusif di antara gedung KOPMA dan gedung kuliah di sampingnya. Hal itu
merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi mahasiswa
untuk belajar.
Pembangunan
gedung-gedung kokoh di sana-sini ternyata masih menyisakan PR. Di balik semua
pembangunan itu, ternyata beberapa fasilitas belum digunakan maupun dipelihara
dengan baik. Seperti contoh di awal tadi, kamar mandi sering kehabisan air,
tidak ada sabun cuci tangan di wastafel, tempat parkir padat, dan hal-hal
lainnya. Selain itu, perkuliahan pembelajaran mikro bagi mahasiswa yang akan
menempuh KKN-PPL beberapa belum tersedia secara maksimal. Terpaksa mereka
menggunakan kelas perkuliahan biasa.
Tempat Parkir Penuh Sesak
Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak mahasiswa yang membawa sepeda motor ke
kampus. Tidak hanya mahasiswa yang nglaju,
mahasiswa yang kost pun membawa motor ke kampus. Tidak heran jika tempat parkir
terasa lebih sesak. “Tempat parkir penuh sesak dan jika parkir di sembarang
tempat dimarahi oleh petugas parkir”, kata salah seorang mahasiswa. Beberapa
mahasiswa juga mengeluhkan tempat parkir banyak yang belum beratap, sehingga
motor akan kepanasan dan kehujanan.
Masih seputar
tempat parkir, mahasiswa MIPA juga angkat bicara. Mereka merasa kerepotan jika
musim hujan tiba dan harus berjalan dari tempat parkir menuju Gedung MIPA D
yang harus melewati perempatan MIPA. Apalagi banyak di antara yang memakai
motor tidak membawa payung, dan akan sangat merepotkan jika berjalan ke Gedung
MIPA D dengan mengenakan jas hujan. Masalah ini memang tidak mudah diatasi,
melihat tidak banyak ruang yang tersedia di dekat gedung MIPA D yang dapat
dijadikan tempat parkir memadai.
Tempat Wudhu Butuh Perhatian
Masalah lain
yang juga luput dari perhatian adalah keadaan tempat wudhu di mushola FIP.
Menurut narasumber dari fakultas tersebut, tempat wudhu di sana tidak
menyediakan ruang yang banyak untuk bergerak atau sempit, lantainya juga licin.
Beberapa keran malah rusak, hanya sekitar dua atau tiga keran yang masih
berfungsi dengan baik. Hal itu memprihatinkan, mengingat bahwa tempat ibadah
juga merupakan hal penting dalam menanamkan pendidikan rohani. Apalagi UNY
menjunjung tinggi nilai edukasi dan pengembangan karakter, sebagaimana visi-nya
membentuk mahasiswa yang bernurani, cendekia, mandiri.
Oleh
karena itu alangkah baiknya jika ada perhatian dari universitas untuk
memperbaiki beberapa fasilitas yang rusak dan melengkapi yang belum ada.
Pembangunan gedung baru memanglah baik, tetapi harus disertai pemeliharaan fasilitas
yang sudah ada dengan baik pula. Mahasiswa juga harus turut serta menjaga
fasilitas kampus. Terlepas dari semua itu, jangan menjadikan kurangya fasilitas
sebagai alasan untuk tidak serius mengikuti perkuliahan.
Dyah Sukrisetyani
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,UNY
Oleh Ahmad Syaiful Hidayat
“Perilaku kita, tidak seperti dengan apa yang kita kenakan. Karena orang
melihat dan menilai kita bukan dari apa yang kita kenakan, tapi menilai dari
apa yang kita lakukan.”
Itulah yang terjadi pada BEM KM saat ini. Belum adanya gerakan yang sesuai
dengan harapan masyarakat kampus saat ini.
Menyikapi diskusi pilwarek di auditorium yang lalu, dirasa kurang pas.
Seharusnya diskusi tersebut dilakukan secara terbuka, seperti di hall rektorat
(depan air mancur). Sehingga seluruh elemen mahasiswa dapat melihat dan turut
ambil bagian dalam diskusi tersebut. Lalu tentang para calon yang diundang,
mereka tidak menyampaikan visi dan misi mereka untuk ikut dalam pilwarek ini.
Jadi bagaimana mahasiswa tahu langkah-langkah yang akan diambil para calon
wakil rektor tersebut untuk periode kerja mendatang apabila terpilih. Selain
itu, pembicara yang diundang dalam diskusi tersebut, dirasa kurang tepat dan
kurang greget dalam menyampaikan isi
materi. Apa yang disampaikan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh sebagian
peserta diskusi yang hadir pada saat itu. Mereka takut apabila mereka berbicara
secara terbuka, itu dapat mempengaruhi posisi mereka di kelembagaan kampus.
Bisa dikatakan mereka itu penjilat kekuasaan. Selain itu, dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa, para jajaran birokrasi juga
tidak dapat menjawab pertanyaan secara terbuka dan tuntas, atau bisa dikatakan
jawaban tersebut masih mengambang, sehingga tetap saja masih ada tanda tanya
dari para mahasiswa.Dan juga diperparah dengan sebagian besar pembicaranya
pulang lebih dulu. Seharusnya BEM KM bisa mengantisipasi hal tersebut. Apabila
beliau-beliau sudah ditunjuk untuk menjadi seorang pembicara, maka seharusnya
mereka standby sampai acaranya
selesai.
Harapannya, BEM KM mengadakan diskusi kembali, namun itu adalah diskusi
terbuka, misal di depan rektorat atau di depan SC sebagai pusatnya kegiatan
mahasiswa, dengan menghadirkan para calon yang sudah terpilih menjadi wakil
rektor. Dalam diskusi tersebut nantinya, para warek yang baru, menyampaikan
visi dan misi yang belum sempat mereka sampaikan kepada para mahasiswa, apakah
sesuai dengan yang diharapkan oleh mahasiswa atau tidak. Selain itu, rektor
juga diharapkan memberikan alasan-alasan mengapa memilih warek yang sudah
terpilih dan alasan rektor tidak memilih calon rektor yang lain. Diharapkan
tidak adanya alasan kepentingan politik yang turut serta dalam pilwarek
ini.Karena, sedikit ada keganjilan, mengapa calon yang terpilih itu yang masih
S2, padahal calon yang lainnya sudah ada yang mendapat gelar doktor bahkan
profesor. Seharusnya secara tingkatan kan lebih bagus yang sudah menjadi
profesor dan doktor. Ini kan perlu dipertanyakan kepada pak rektor. Jadi mau
tidak mau, pak rektor harus turun tangan dalam diskusi terbuka nanti, untuk
memberikan alasan-alasannya dan juga memberikan masukan & motivasi
kepada para calon yang tidak terpilih, misal kekurangan-kekurangannya dan
masukan agar kedepannya bisa lebih baik. Sehingga hubungan antara pak rektor
dengan calon yang terpilih maupun yang tidak terpilih tetap berjalan baik dan
agar mahasiswa pun tidak tanda tanya lagi masalah pilwarek yang serba tertutup ini
dan itu pun dapat menghilangkan persepsi negatif mahasiswa terhadap kalangan
birokrasi. Lalu diharapkan juga para calon yang tidak terpilih itu tidak patah
semangat dan tetap maksimal dalam membangun perubahan-perubahan UNY yang lebih
baik kedepannya.
Apalagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pihak rektorat biasanya tidak
memandang apakah ini baik untuk mahasiswa atau tidak. Jadi pihak rektor
biasanya langsung menetapkan kebijakan tersebut secara sepihak tanpa
mempertimbangkan keberadaan mahasiswa, dan biasanya kebijakan tersebut tidak
memihak kepada para mahasiswa. Seharusnya ada komunikasi dua arah antara
mahasiswa dan pihak rektorat dalam mengambil suatu kebijakan, dimana kita bisa
memberikan usulan apakah ini baik atau buruk apabila dipandang dari sudut
pandang mahasiswa. Sehingga nantinya kebijakan tersebut bisa adil, tidak semata
hanya menguntungkan pihak birokrasi saja dan mahasiswa pun tidak dirugikan.
Ahmad Syaiful Hidayat
Pimpinan Redaksi Lentera
Kadept Media dan Jaringan
BEM FIS, UNY